TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak SBY-Boediono
dilantik sebagai pasangan presiden dan wakil presiden, borok dan skandal
korupsi yang melibatkan pemerintah dan partai pendukungnya terbuka satu
persatu. Skandal korupsi bailout Bank Century, skandal mafia pajak,
skandal korupsi pengadaan gerbong KA, skandal surat palsu KPU, kasus
Nazaruddin dalam Wisma Atlet, kasus Hambalang, serta kasus suap di
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi .
"Kemenangan mutlak
SBY-Boediono satu putaran pada pilpres 2009 dan lonjakan 300 persen
suara Partai Demokrat pada pemilu legislatif 2009 dan ditambah lagi
dukungan koalisi antar partai pendukung pemerintah yang memiliki kursi
mayoritas di parlemen ternyata bukan menjadi jaminan terciptanya
pemerintahan yang benar-benar efektif melayani kepentingan rakyat dan
melindungi kepentingan nasional," kata Ketua DPN Repdem, Masinton
Pasaribu, Sabtu (18/02/2012).
Rakyat, katanya, semakin merasakan
ketidak hadiran negara atau pemerintah dalam berbagai hal. SBY sebagai
kepala negara dan kepala pemerintah, ujar Masinton, justru hadir di
tempat lain yang jauh dari jangkauan rakyat. SBY malah hadir disaat
melakukan pembelaan terhadap kader-kader partainya yang terlibat dalam
berbagai skandal korupsi.
"Ketidakhadiran negara disaat
dibutuhkan rakyat justru menjadi penyebab terjadinya berbagai tragedi
kemanusiaan seperti Cikeusik, Bima, Mesuji, dan lain-lain. Retaknya
ikatan-ikatan persaudaraan dalam aneka keberagaman seperti dalam konflik
GKI Yasmin dan sebagainya. Serta maraknya aksi-aksi kriminal di
jalanan," kecam Masinton.
Dampak lain dari
ketidakbecusan pengelolaan negara, lanjutnya lagi, adalah derasnya arus
impor bahan pertanian seperti bawang merah, gula, beras, garam, dan
lain-lain yang menghancurkan dan memiskinkan petani Indonesia di
berbagai daerah.
Begitu juga dengan geliat pertambangan dan
perkebunan milik asing maupun pemilik modal nasional yang terus agresif
melakukan perampasan tanah milik rakyat dan melakukan perusakan
lingkungan.
"Pemerintahan SBY-Boediono diam bagaikan patung
ditengah berbagai peristiwa seperti penyiksaan TKW di luar negeri,
pencaplokan wilayah perbatasan, penjarahan ikan oleh perusahaan asing di
wilayah maritim Indonesia, hingga masuknya ikan impor berformalin ke
Indonesia," urainya.
Melanjutkan pemerintahan SBY-Boediono hingga
2014 sama halnya melanjutkan negara tanpa pemerintahan. Resiko sosial,
ekonomi, budaya, politik dan pertahanan yang harus ditanggung bangsa
ini terlalu besar jika harus memaksakan untuk melanjutkan pemerintahan
yang produktifitas dan efektifitasnya sudah tidak berarti lagi bagi
kemajuan bangsa Indonesia.
"Ganti pemerintahan SBY-Boediono yang
sudah tidak produktif, tidak efektif selenggarakan roda pemerintahan.
Alternatif itu bisa dimulai dengan membangun konsensus nasional diantara
para tokoh bangsa dari berbagai latar belakang usia, partai, golongan,
dan profesi untuk mengakhiri pemerintahan patung SBY-Boediono
secepatnya. Digantikan dengan pemerintahan baru sesuai platform
konsensus nasional yang bekerja meletakkan kembali fondasi berbangsa dan
bernegara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945,"
Masinton menegaskan. (tribunnews/yat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar